
Dubbing Indonesia Bahasanya Terlalu “Kaku” dan “Baku”? Ini Kata Novie Burhan
Novie Burhan merupakan seiyu yang cukup terkemuka di Indonesia. Ia telah malang melintang dalam industri pengisian suara dan dubbing Indonesia, di mana ia memulai karirnya sebagai seiyu di usia yang masih sangat belia, bahkan menurut pengakuannya, sebelum dirinya bisa membaca. Novie Burhan sendiri merupakan seiyu keturunan “darah biru” dari klan Burhan yang banyak aktif di industri pelaku suara Indonesia.
Ayahnya adalah mendiang AP Burhan yang merupakan salah seorang legenda sandiwara radio Indonesia. Sementara ibunya, mendiang Elly Burhan juga merupakan salah seorang legenda sandiwara radio Indonesia yang juga pernah ikut mendubbing anime Doraemon hingga Rocky Rackat. Saudara-saudaranya seperti mendiang Billy Burhan hingga Tata Burhan hingga iparnya Jessy Millianty semuanya juga berkarir sebagai seiyu.
Novie Burhan sendiri menjadi seiyu di sejumlah film seperti Cardcaptor Sakura, Slayers, PreTear, The Incredibles, Madagascar, Shrek, Super Gals!: Kotobuki Ran, Disney’s 101 Dalmatians, Danny Phantom, Carita de Angel, Wreck it Ralph, Kamui Gaiden, dan sederet judul-judul lagi. Saat ini ia juga aktif menjadi seorang pengarah dialog atau sutradara dubbing, di mana ia merupakan salah seorang sosok yang bertanggung jawab di balik produksi dubbing Indonesia untuk film-film Walt Disney dan Netflix.
Ia jugalah yang menangani pengisian suara terhadap film anime Battle of Surabaya, termasuk dipercaya studio CS Pro untuk menangani dubbing anime Gokushufudo dan Cyberpunk: Edgerunners, bahkan termasuk live action One Piece. Selain menjadi seiyu dan pengarah dialog, Novie Burhan kini juga aktif menjadi pengajar yang menularkan ilmunya kepada calon-calon seiyu generasi selanjutnya melalui Voice Talent Class Indonesia (VTClass.ID).
Di sela-sela workshop seiyu bersama VTClass.ID yang diampu oleh Novie Burhan pada 7 Oktober 2023 lalu, tim KAORI Nusantara sempat mewawancarai Novie Burhan mengenai sebuah fenomena tentang pandangan penonton mengenai dubbing Indonesia.
Dialog Terlalu “Baku”?
Salah satu fenomena yang cukup menjadi perdebatan dalam dubbing Indonesia adalah terjemahan dialog yang terlalu “baku”, “kaku”, “bahasa Indonesia yang baik dan benar”, dan tidak sesuai dengan bahasa yang digunakan sehari-hari. Berbagai pro-kontra menghinggapi metode permasalahan terjemahan dialog ini. Itu belum termasuk sensor terhadap kata-kata yang “tidak pantas” jika film yang bersangkutan ditayangkan di televisi publik.
Ironisnya ketika sejumlah penyedia layanan streaming yang tidak terlalu terikat dengan regulasi penyiaran mencoba membuat terjemahan dialog yang lebih “luwes”, “gaul”, dan “sehari-hari”, hal itu bukan tanpa pro-kontra juga. Rupanya di kalangan masyarakat, bahkan para seiyu sendiri terdapat perbedaan mengenai bagaimana seharusnya dialog sebuah film dubbing Indonesia.
Mengemban Amanah
Menanggapi hal ini, Novie Burhan punya cerita. Jika merunut dari sejarah, ketika dubbing Indonesia mulai diterapkan di televisi, saat itu terdapat amanah yang dititipkan oleh pemerintah masa itu. Amanah ini tidaklah main-main, bahkan termasuk datang dari sosok ibu negara saat itu. Amanah tersebut adalah harapan bahwa dubbing Indonesia sebaiknya mengemban misi edukasi masyarakat Indonesia mengenai bagaimana berbahasa Indonesia yang baik dan benar, bagaimana berbahasa Indonesia yang baku.
Hal ini dikarenakan banyaknya tayangkan televisi yang tidak mendidik dengan kualitas yang dipertanyakan. Tayangan-tayangan tersebut seolah menggunakan bahasa yang sehari-hari digunakan, namun sesungguhnya itu hanyalah “bahasa sehari-hari” di Jakarta, yang itu belum tentu digunakan oleh orang-orang di luar Jakarta, luar Jawa, Indonesia Tengah, atau Indonesia Timur.
“Nggak” Atau “Tidak”?
Salah satu kata yang cukup sederhana tapi bisa menjadi perdebatan adalah mana yang lebih baik antara kata “nggak” atau kata “tidak”. Menurut Novie Burhan, kata “nggak” umumnya dipakai di Jakarta, dan belum tentu dipakai di luar Jakarta. Itu belum termasuk bahasa-bahasa “gaul” Jakarta lainnya seperti “enak aja”, “dong”, “deh”, “sih” yang menurutnya kata-kata tersebut merupakan “bahasa Jakarta”. Karenanya dubbing dengan bahasa Indonesia yang “baik dan benar” seperti yang dipilih oleh Novie Burhan sebagai seorang pengarah dialog/sutradara dubbing tidak menggunakan, atau setidaknya meminimalisir penggunaan kata-kata tersebut, dan tentunya lebih memilih menggunakan kata “tidak”.
Keputusan ini diambil karena penonton TV atau streaming bukan hanya di Jakarta saja. Sebagaimana yang dituturkan oleh Novie Burhan “Coba lihat teman-teman, terutama di Indonesia Timur. Mana ada “gua-elu”? Mana ada kata “nggak”? “Tidak ada kakak”! Mereka pasti seperti itu.”
Bahasa Indonesia, Bahasa Persatuan
Luasnya keragaman bahasa di Indonesia, termasuk keragaman bagaimana tiap daerah menginterpretasikan bahasa Indonesia ini menjadi salah satu alasan mengapa dubbing Indonesia di televisi, termasuk metode yang dipilih oleh Novie Burhan yang banyak menggarap dubbing untuk platform streaming bertaraf internasional memilih untuk menggunakan dialog berdasarkan “bahasa Indonesia yang baik dan benar”. Hal ini semata demi bisa diterima oleh seluruh masyarakat Indonesia. Tapi mengapa hal ini justru dikritik terdengar aneh di telinga oleh sebagian kalangan?
Novie Burhan sendiri membenarkan bahwa penggunaan dialog berdasarkan “bahasa Indonesia yang baik dan benar” ini dirasa kaku dan terdengar aneh oleh sebagian kalangan. Hal ini karena bahasa seperti itu memang tidak biasa digunakan. Namun ia juga menimpali “tapi sudah bertanya belum sama teman-teman di Indonesia Timur, aneh nggak? Bagi mereka mungkin tidak? Bagi teman-teman di Sumatera yang berbahasa Indonesia baku, mungkin juga nggak kok? Nggak aneh. Yang terdengar aneh kan bagi teman-teman yang ada di Jakarta, yang Bahasa gaulnya sekarang macam “anjir”, “anjay”, dan sejenisnya.”
Novie Burhan sendiri tidak menampik fakta bahwa tidak sedikit film-film yang tayang dengan dubbing Indonesia di platform streaming online atau OTT sudah mulai menggunakan bahasa yang “tidak baku”, “tidak kaku”, “luwes”, “gaul”, “sehari-hari”. Hal ini dikarenakan platform-platform OTT tersebut memang tengah melakukan ujicoba karena banyaknya masukan dari masyarakat yang mengeluhkan bahasa terjemahan yang terlalu “baku”. Namun pada kenyataannya praktek seperti itu juga menimbulkan pro-kontra tersendiri, dan Novie Burhan sendiri memilih untuk tetap setia menggunakan bahasa Indonesia yang “baik dan benar”.
Filter Budaya
Satu lagi misi yang diemban dalam dubbing Indonesia sejatinya adalah filter atas budaya dan bahasa yang dirasa sensitif. Novie Burhan mencontohkan seperti kata “f*ck” yang ketika diterjemahkan untuk dubbing biasanya menjadi tidak sekasar itu. Misalnya saja kata makian seperti itu biasanya diterjemahkan menjadi “kurang ajar” alih-alih kata “bangs*t” yang terlalu kasar. Bahkan kata “bodoh” saja seringkali difilter menjadi “payah”.
Mengapa kata-kata tersebut difilter? Hal ini untuk mencegah anak-anak yang menonton menirukan kata-kata seperti itu, dan menganggapnya sebagai sebuah kewajaran. “Bayangkan kalau sampai seorang anak berkata “ih ibu bodoh benar!” Itu akan menjadi isu yang lebih pelik lagi! Karena itulah filter diperlukan.”
Karena itulah masalah terjemahan bahasa dubbing ini menurutnya memang masalah yang sensitif. Dari mulai filter budaya hingga “membahasa-Indonesiakan Indonesia”, menurutnya dubbing atau terjemahan dengan “bahasa Indonesia yang baik dan benar” masih cukup relevan di era digital ini. “Mungkin kita tidak terbiasa dengan bahasa seperti itu. Tapi bagaimana dengan teman-teman di luar Jawa yang bahasa Indonesianya terkadang bisa lebih baku? Seperti misalnya di Indonesia Timur yang biasa menyebut “saya kakak!”, “ini tidak kakak!” Kira-kira seperti itulah.”
Tentu saja penuturan Novie Burhan ini hanyalah salah satu versi saja dari industri seiyu, dubbing, dan terjemahan bahasa Indonesia yang cukup luas. Pro dan kontra, pendapat yang berseberangan pasti akan selalu ada. Jadi kalau #Kaoreaders sendiri lebih senang terjemahan dubbing yang seperti apa? Salurkan pendapatmu di komentar ya!
| Oleh Dody Kusumanto | Terima kasih kepada Novie Burhan