Kondisi KAI Travel Fair di JCC | Sumber: Rendy Randhiansyah

Tidak ada perusahaan kereta api di dunia ini yang begitu keras berusaha untuk menjadi airline. Setidaknya kecuali PT Kereta Api Indonesia (Persero). Rangkaian terkini dari usaha mencoba menjadi seperti airline yang dilakukan KAI merupakan bukti nyata bahwa ada sesuatu yang harus benar-benar direnungkan, dipikirkan ulang, dievaluasi, bahkan dipertanyakan.

KAI Travel Fair – sejatinya menjadi acara perdana gelaran promo yang dilakukan secara offline – pada Sabtu (29/7) berakhir dengan kegagalan. Aksi dorong-dorongan, kekesalan dan makian yang dilemparkan penumpang kepada media, semakin lengkap dengan rasa senang sebagian calon pembeli yang berhasil membeli tiketnya tanpa perlu menginjakkan kaki sama sekali di venue. Dengan modal sedemikian besar yang dikeluarkan, KAI berhasil mendapatkan publisitas besar yang diinginkan, namun bukan citra positif yang diharapkan.

Ketidakbecusan penyelenggara terlihat sejak awal informasi ini diumumkan. Berbeda dengan Garuda Travel Fair di mana semua booth menjual tiket dengan harga yang (relatif) sama serta mendapatkan cashback untuk beberapa transaksi tertentu, pengunjung dibingungkan dengan perbedaan diskon channel. Mengapa bisa, bila membeli di stand T, diskonnya bisa mencapai 75 persen, namun hanya 25 persen di stand lain? Semakin menambah ironi adalah saat beredar informasi bahwa pelanggan harus membeli tiket melalui smartphone dan melakukan pembayaran melalui transfer via ATM.

Awan badai mulai disemai saat pukul 4 pagi beredar kabar antrian mulai terlihat di dekat venue. Melengkapi taifun, pukul 5 pagi beredar gambar-gambar di grup-grup WhatsApp dan media sosial yang memperlihatkan bahwa tiket bisa dipesan cukup dengan mengakses sebuah aplikasi mitra. Hal ini terus berlanjut sampai sekitar pukul 8 pagi saat bug di platform tersebut ditutup. Antrean sudah mengular dan bisa dilihat dari depan halte Transjakarta – lagi-lagi tanpa adanya satu orang pun yang tampak berjaga untuk mendampingi antrean-.

Sehingga ketika pintu mulai dibuka dan terjadi kericuhan, firasat buruk menjadi kenyataan. Acara yang seharusnya membuka kesempatan bagi banyak orang untuk naik kereta api dengan murah berubah menjadi kacau. Ironisnya, cara yang dilakukan untuk memecah konsentrasi massa adalah dengan mengumumkan bahwa pengunjung – yang sudah mengantre berjam-jam sebelumnya – bisa membeli tiket promo mereka melalui ponsel. Lalu apa bedanya dengan tiket promo tahun lalu?

Jadi, mengapa Garuda Travel Fair (GATF) hampir tidak disertai drama, sedangkan KATF sudah diprediksi sejak awal akan berakhir dengan kegagalan?

Salah satu faktor pembedanya adalah tentu saja, tiket pesawat terbang vs tiket kereta api. Tiket pesawat terbang jauh lebih mahal dari tiket kereta api. Walau telah didiskon besar-besaran pun, tiket pesawat Garuda tidak akan bisa dijual semurah segelas kopi di Starbucks sebagaimana yang terlihat dalam KATF. Peserta yang mengikuti promo GATF umumnya telah akrab dengan dunia pesawat terbang dan cenderung berasal dari segmen kelas menengah, sehingga mereka membekali diri mereka dengan kartu debit atau kartu kredit khusus demi mengincar promo gila-gilaan yang diinginkan. Ini jauh berbeda dibandingkan dengan tiket kereta api eksekutif yang dijual lebih murah dari tiket kereta ekonomi. Dengan modal selembar 100 ribu di tangan, seseorang bisa ikut mengantri dan mencoba peruntungannya untuk mendapat tiket promo. Atau menyengaja jauh-jauh datang dari Cirebon.

Blunder lain adalah mengasumsikan bahwa pembeli tiket kereta api telah cerdas, yang dibuktikan dengan munculnya komentar masyarakat yang gagap karena harus memasang aplikasi dalam ponsel pintar mereka. Waktu pembayaran yang kini dibatasi secara tidak langsung memaksa masyarakat untuk menyiapkan sarana transaksi seperti kartu kredit atau SMS banking. Tentu saja, mereka kalah bersaing dari anak-anak muda yang asyik membeli tiket dari depan tempat tidurnya. Apa kabar wacana penghapusan loket stasiun, ketika midori no madoguchi (loket tiket) JR East masih buka sampai jam 8 malam di negeri yang jauh lebih melek internet dari Indonesia?

Hal paling fatal adalah target penjualan 600 ribu kursi melalui acara ini. Jumlah pengunjung acara kemarin mungkin hanya mencapai belasan ribu orang – dan banyak di antara mereka yang gagal mendapatkan tiket yang diinginkannya -. Bagaimana caranya mengumpulkan dan melayani belasan ribu orang tersebut bila hanya separuh hall JCC yang dipergunakan?

Masih banyak faktor-faktor lain yang menyebabkan proposal KATF dalam eksekusinya kemarin, dengan akal sehat, seharusnya tidak pernah lolos dari status proposal dan tidak pernah mendapatkan persetujuan dari direktur utama. Namun celakanya, penutup blunder-blunder tersebut adalah perilaku sebagian railfans yang menjadi panitia dalam acara tersebut dan mengklaim bahwa antrean yang kacau adalah bukti keberhasilan penyelenggaraan KATF. Bunda…

Antrian panjang hampir satu kilometer. Terlihat bentuk Tokyo Big Sight yang ikonik di ujung. (Kevin W)

Bila ke depannya jajaran direksi KAI – dan wabilkhusus project officer KATF – hendak menyelenggarakan acara sejenis ini, ada baiknya untuk menyambangi acara pasar komik terbesar di dunia, Comic Market (Comiket). Dengan pengunjung total lebih dari setengah juta orang dalam tiga hari, Comiket berhasil diselenggarakan dengan tertib dan menjadi contoh ideal bila KAI berminat menjual enam ratus ribu tiket kereta api dengan cara seperti Garuda Travel Fair.

Atau, lebih baik berhenti berusaha keras menjadi seperti Garuda Indonesia dan mulai berusaha keras menjadi seperti JR East. Pekerjaan rumah masih banyak, bapak dan ibu!

Oleh Kevin W | Penulis telah menggunakan transportasi KRL sejak 2007 sejak zaman masih sering tidak membeli karcis, menggunakan abunemen KRL ekonomi AC, sampai membeli kartu multi trip di hari pertamanya dijual. Pengguna Transjakarta sejak bus Huanghai pertama beroperasi di koridor 5.

Artikel ini adalah pendapat pribadi dari sang penulis dan tidak berarti merefleksikan kebijakan maupun pandangan KAORI Nusantara.